kacamatailmu//foto// |
وَمِن عَلَامَاتِ اْلعَالِمِ اْلمَعْدُوْدِ مِنْ عُلـَمَاءِ الْآخِرَةِ أَنْ يَكُوْنَ مُتَوَاضِعـًا... ولَاطَامِعًا فِي النَّاسِ وَلَا حَرِيْصًا عَلَى الدُّنْيَا وَلَا مُؤَثِّرًا لَهَا عَلَى الآخِرَةِ وَلَا جَامِعًا لِلْمَالِ وَلَا مَانِعًا لَهُ عَنْ حَقِّهِ.
“Di antara tanda orang alim yang
tergolong ulama akhirat adalah tawaduk... tidak tamak, tidak terlalu senang dengan
dunia, tidak mendahulukan urusan duniawi atas ukhrawi, tidak menumpuk-numpuk harta
dan tidak mencegah haknya harta.”
Syekh Abdullah Ba’alawi menjelaskan bahwa
ulama akhirat pasti berbudi luhur, tawadhu dan bersifat dengan sifat-sifat
terpuji, yang di antaranya adalah tidak tamak atas dunia. Selayaknyalah kita
meneladani mereka, karena mereka pasti dapat merealisasikan sifat tersebut.
Tidak tamak pada dunia merupakan sifat yang
kental pada diri mereka. Sebab, tamak dapat mejadikan seseorang kurang menghormati
jaminan yang Allah I berikan. Allah I
menjamin dan menanggung atas semua bagian-bagian
umat manusia, baik rezeki atau pun lainnya. Jangan sampai Allah I menjamin kebutuhan kita, malah kita melirik hak orang lain.
Inilah yang dikatakan kurang menghormati pemberian Allah I. Bukti bahwa Allah I
menjamin semua bagian umat manusia adalah firman-Nya dalam al-Qur’an:
وَمَا مِنْ
دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا
وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan
tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.
Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
(QS. al-Hûd: 6).
Orang mukmin yang meyakini kebenaran
ayat ini, jika masih mengharap pemberian orang lain, berarti ia menyalai apa
yang telah diyakini, sehingga ia termasuk orang yang tidak menghormati ketentuan
Allah I.
Selain itu, sifat yang dimiliki ulama
akhirat adalah tidak terlalu senang pada dunia. Tidak pernah panas untuk meraihnya,
tidak ngotot ingin kaya. Hati mereka tidak bergairah meraih dunia. Jika
kenyataannya tidak demikian, itu hanya lahirnya
saja yang berusaha sesuai kebutuhannya. Mereka melepaskan diri dari kegairahan pada
dunia seraya pasrah penuh kepada yang Mahakuasa. Bahkan, sebagian mereka
berprinsip, ‘jika mendapatkan maka alhamdulillâh, jika tidak maka
tak perlu mengeluh’. Mereka total lepas dari memikirkan duniawi, terlebih saat
salat. Ini sangat berbeda dengan mereka yang selalu memikirkan masalah dunia saja.
Di samping itu, mereka juga tidak
mendahulukan duniawi daripada ukhrawinya. Misalnya, mereka berjanji (nadzar)
menghatamkan Dalâilul-Khairât dalam sehari, maka mereka mendahulukan janjinya
daripada yang lain. Atau berjanji melakukan salat tahajud, maka mereka pun melaksanakannya
meski keadaan cuaca sangat dingin.
Mendahulukan ukhrawi yang telah menjadi
kewajiban kita sangatlah penting. Sebagaimana Syekh Abd Qodir al-Jilani yang memiliki
bacaan khusus pada malam hari. Dikisahkan, pada suatu malam sekejap beliau terlelap
saat mengamalkan bacaan khusus itu. Dalam tidurnya, beliau mimpi basah.
Buru-buru beliau bangun dan langsung mandi. Setelah itu, melanjutkan
aktivitasnya kembali. Namun, sesaat kemudian beliau terlelap lagi, dan mimpi
basah lagi, beliau pun akhirnya mandi lagi. Kejadian ini berulang hingga empat
puluh kali dalam semalam. Inilah sekelumit contoh tentang mendahulukan ukhrawi dalam
bentuk zikir dibandingkan urusan duniawi berupa tidur nyenyak. Padahal, pada malam
itu sedang musim dingin. Jadi, yang terasa nikmat di dunia itu dikatakan duniawi,
sedangkan yang terasa nikmat kelak di akhirat, dikatakan ukhrawi.
Ulama akhirat, juga tidak suka
menumpuk-numpuk harta. Dalam hal ini, kita bisa mencontoh tingkah laku burung
dan semut. Burung berangkat dari sangkarnya dalam keadaan lapar dan pulang dengan
perut kenyang, tanpa membawa makanan sedikit pun. Beda halnya kalau semut, ia
selalu menumpuk makanan. Berangkat dari sarangnya dengan perut tipis, pulang
dengan perut kenyang sekaligus membawa makanan lainnya untuk dikumpulkan. Padahal,
tak jarang ia terbabani dan bahkan tertindih makanan yang dibawanya itu hingga mati.
Maka dari itu, kita tidak pantas meniru semut yang terus mengumpulkan harta
belaka.
Di samping juga, ulama akhirat itu tidak
pernah mencegah haknya harta untuk di-tasharruf-kan, seperti zakat,
infak, sedekah. Sebab, mereka tidak hawatir akan hilangnya harta yang
dikeluarkan. Mereka yakin Allah I akan menggantinya. Dalam al-Qur’an disebutkan:
قُلْ
إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا
أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Katakanlah:
‘Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya, dan juga menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan
Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. as-Sabâ’;39)
Oleh; Has N,@Has Nw (ibnunaway@gmail.com) :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar