3 Mar 2014

Tidak Perlu Tamak, Apalagi Menumpuk Harta

kacamatailmu//foto// 

 وَمِن عَلَامَاتِ اْلعَالِمِ اْلمَعْدُوْدِ مِنْ عُلـَمَاءِ الْآخِرَةِ أَنْ يَكُوْنَ مُتَوَاضِعـًا... ولَاطَامِعًا فِي النَّاسِ وَلَا حَرِيْصًا عَلَى الدُّنْيَا وَلَا مُؤَثِّرًا لَهَا عَلَى الآخِرَةِ وَلَا جَامِعًا لِلْمَالِ وَلَا مَانِعًا لَهُ عَنْ حَقِّهِ.
Di antara tanda orang alim yang tergolong ulama akhirat adalah tawaduk... tidak tamak, tidak terlalu senang dengan dunia, tidak mendahulukan urusan duniawi atas ukhrawi, tidak menumpuk-numpuk harta dan tidak mencegah haknya harta.
Syekh Abdullah Ba’alawi menjelaskan bahwa ulama akhirat pasti berbudi luhur, tawadhu dan bersifat dengan sifat-sifat terpuji, yang di antaranya adalah tidak tamak atas dunia. Selayaknyalah kita meneladani mereka, karena mereka pasti dapat merealisasikan sifat tersebut.
Tidak tamak pada dunia merupakan sifat yang kental pada diri mereka. Sebab, tamak dapat mejadikan seseorang kurang menghormati jaminan yang Allah I berikan. Allah I  menjamin dan menanggung atas semua bagian-bagian umat manusia, baik rezeki atau pun lainnya. Jangan sampai Allah I menjamin kebutuhan kita, malah kita melirik hak orang lain. Inilah yang dikatakan kurang menghormati pemberian Allah I. Bukti bahwa Allah I menjamin semua bagian umat manusia adalah firman-Nya dalam al-Qur’an:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. al-Hûd: 6).
Orang mukmin yang meyakini kebenaran ayat ini, jika masih mengharap pemberian orang lain, berarti ia menyalai apa yang telah diyakini, sehingga ia termasuk orang yang tidak menghormati ketentuan Allah I.
Selain itu, sifat yang dimiliki ulama akhirat adalah tidak terlalu senang pada dunia. Tidak pernah panas untuk meraihnya, tidak ngotot ingin kaya. Hati mereka tidak bergairah meraih dunia. Jika kenyataannya tidak demikian,  itu hanya lahirnya saja yang berusaha sesuai kebutuhannya. Mereka melepaskan diri dari kegairahan pada dunia seraya pasrah penuh kepada yang Mahakuasa. Bahkan, sebagian mereka berprinsip, ‘jika mendapatkan maka alhamdulillâh, jika tidak maka tak perlu mengeluh’. Mereka total lepas dari memikirkan duniawi, terlebih saat salat. Ini sangat berbeda dengan mereka yang selalu memikirkan masalah dunia saja.
Di samping itu, mereka juga tidak mendahulukan duniawi daripada ukhrawinya. Misalnya, mereka berjanji (nadzar) menghatamkan Dalâilul-Khairât dalam sehari, maka mereka mendahulukan janjinya daripada yang lain. Atau berjanji melakukan salat tahajud, maka mereka pun melaksanakannya meski keadaan cuaca sangat dingin.
Mendahulukan ukhrawi yang telah menjadi kewajiban kita sangatlah penting. Sebagaimana Syekh Abd Qodir al-Jilani yang memiliki bacaan khusus pada malam hari. Dikisahkan, pada suatu malam sekejap beliau terlelap saat mengamalkan bacaan khusus itu. Dalam tidurnya, beliau mimpi basah. Buru-buru beliau bangun dan langsung mandi. Setelah itu, melanjutkan aktivitasnya kembali. Namun, sesaat kemudian beliau terlelap lagi, dan mimpi basah lagi, beliau pun akhirnya mandi lagi. Kejadian ini berulang hingga empat puluh kali dalam semalam. Inilah sekelumit contoh tentang mendahulukan ukhrawi dalam bentuk zikir dibandingkan urusan duniawi berupa tidur nyenyak. Padahal, pada malam itu sedang musim dingin. Jadi, yang terasa nikmat di dunia itu dikatakan duniawi, sedangkan yang terasa nikmat kelak di akhirat, dikatakan ukhrawi.
Ulama akhirat, juga tidak suka menumpuk-numpuk harta. Dalam hal ini, kita bisa mencontoh tingkah laku burung dan semut. Burung berangkat dari sangkarnya dalam keadaan lapar dan pulang dengan perut kenyang, tanpa membawa makanan sedikit pun. Beda halnya kalau semut, ia selalu menumpuk makanan. Berangkat dari sarangnya dengan perut tipis, pulang dengan perut kenyang sekaligus membawa makanan lainnya untuk dikumpulkan. Padahal, tak jarang ia terbabani dan bahkan tertindih makanan yang dibawanya itu hingga mati. Maka dari itu, kita tidak pantas meniru semut yang terus mengumpulkan harta belaka.
Di samping juga, ulama akhirat itu tidak pernah mencegah haknya harta untuk di-tasharruf-kan, seperti zakat, infak, sedekah. Sebab, mereka tidak hawatir akan hilangnya harta yang dikeluarkan. Mereka yakin Allah I akan menggantinya. Dalam al-Qur’an disebutkan:
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan juga menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. as-Sabâ’;39)
 Oleh; Has N,@Has Nw  (ibnunaway@gmail.com) :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar